Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak lebih pendek dari usianya, kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan dan masa awal kehidupan setelah lahir namun terlihat setelah anak berusia dua tahun atau di 1000 hari pertama kehidupan.
Pada akhir tahun 2017 , Kabupaten Kulon Progo ditetapkan sebagai lokus intervensi percepatan penanggulangan stunting bersama 8 kabupaten lainnya, 4 kabupaten dengan kriteria I , sementara 4 kabupaten lainnya masuk kriteria II. Kab. Kulon Progo dipilih dengan kriteria II yaitu komitmen tinggi dari pemerintah daerah. Sebagai daerah lokus penunjukan dari pusat sudah ditentukan dengan 10 desa lokus, namun kebijakan Pemerintah Daerah Kulon Progo, intervensi dilaksanakan di semua desa ( 87 Kalurahan, dan 1 Kelurahan ) ,
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, kondisi balita stunting di Kulon Progo menunjukkan angka 26,3 % dan turun menjadi 22,65 % di tahun 2018, sebetulnya di Daerah Istimewa Yogyakarta Kabupaten Kulon Progo berada diperingkat tiga setelah Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Bantul, namun dua kabupaten tersebut baru ditetapkan menjadi daerah lokus pada tahun 2019 dan 2020. Hasil pemantauan status gizi (PSG) tahunan untuk semua balita stunting di Kulon Progo menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 18,25% ( tahun 2013) menjadi 12,57% ( tahun 2019)
Banyak upaya yang sudah dilakukan diantaranya penyusunan regulasi, penyusunan rencana aksi daerah (RAD), intervensi gizi spesifik dan sensitif, melaksanakan aksi konvergensi , melakukan kerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi dan LSM. Banyak inovasi tentang stunting di Kulon Progo baik yang spesifik dengan sasaran anak sekolah ,remaja, catin, ibu hamil, ,bayi dan balita, maupun yang sensitif seperti pemberian beras fortifikasi bio nutrizink dan gerakan menanam sayur dipekarangan (Gempar) dari Dinas Pertanian dan Dinas Sosial yang memadukan bantuan sosial dengan pemberian bahan pangan yang lebih beragam untuk memenuhi kebutuhan protein hewani ikan lele, dan nabati, sayuran,telur , cukup berhasil menurunkan angka stunting di Kulon Progo yang semuanya merupakan bagian dari Cegah StuntingKu, namun begitu kita masih belum puas, apakah penurunan angka tersebut dikarenakan karena lolos umur (setelah usia 5 tahun tidak dipantau ) atau memang karena hasil intervensi kita, ini yang perlu dianalisis lebih tajam lagi dengan mempertimbangkan bagaimana cara model pemantauannya,bagaimana kondisi stunting di masing2 desa, bagaimana memadukan dengan inovasi yang sudah ada supaya lebih komprehensif, efisien , efektif agar intervensi yang diambil lebih tepat dan akurat sehingga mempunyai daya ungkit terhadap penurunan stunting di Kulon Progo.